Sebenarnya tulisan
ini adalah tulisan lama saya, yakni saya tulis di tahun 2011 saat saya tinggal
di Tanjungpandan –Belitung. Saya publikasikan tulisan ini bukan karena saya
tidak menulis, melainkan untuk mengingatkan saya akan tulisan yang pernah saya
tulis 9 tahun yang lalu. Tulisan ini berawal dari mimpi ingin menulis sebuah
buku yang bertema “Sunyi Yang Bermakna”, tetapi hingga kini belum juga terwujud
(hehe). Awalnya, tulisan ini akan dijadikan sekapur sirih untuk mimpi buku
tersebut, ah sudahlah, semoga suatu saat nanti akan terwujud. Aamiin. Oke guys,
selamat melumat dan mengunyah tulisan ini.
Mengawali
tulisan ini, saya mulai dengan sebuah ungkapan dari Ibnu Qoyyim; “Jika engkau
amati, kebanyakan manusia rela dengan dunia dan berpaling dari ayat-ayat Allah.
Dan sangat sedikit yang sanggup berbeda dengan mereka. Karena akan menjadi
terasing di antara mereka.”
Dunia yang
semakin ramai, semakin banyak hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, dan
semakin banyak pula hal-hal aneh terjadi. Hiruk-pikuk, sorak-sorai pesta dunia
terlihat di mana-mana. Banyak orang berlomba-lomba untuk terus berhias hanya
demi kesenangan semata. Demi bersenang-senang, mereka rela menggadaikan
akidahnya. Segala cara dilakukan demi mencapai cita-cita. Persis seperti yang
dikatakan oleh Nabi saw, dunia yang semakin tua ini, seperti orangtua yang
semakin berdandan. Ibarat tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi-jadi.
Tidak pernah menyiapkan dan membekali diri, padahal usia semakin berkurang,
sedangkan dunia semakin kelam.
Di balik semua
itu, hanya ada sekelompok orang shalih yang mampu mengendalikan diri agar tidak
terjerumus ke dalam hal tersebut. Mereka tidak tergiur dengan kenikmatan yang
semu, bahkan mereka rela hanyut dalam kesunyian, demi mendapatkan mardhotillah (keridhaan Allah).
Orang-orang shalih merasa dunia tidak sedang ramai, tetapi sebaliknya, semakin
sepi dan sunyi. Menjadikan diri larut dalam kesunyian, bersimpuh dalam cahaya
iman dan kedekatan kepada Allah swt. Itulah yang mereka lakukan dan mereka
rasakan, serta itu pula yang kita berharap dapat juga merasakannya (termasuk
bagian darinya).
Berguru pada
sunyi bukan tidak memilki makna, banyak hikmah yang terkandung di dalamnya.
Jika di tengah-tengah keramaian orang sulit membagi waktu untuk Allah, paling
hanya sekedar memenuhi kewajiban saja. Tetapi tidak demikian jika dalam keadaan
sunyi. Bila di tengah keramaian kebanyakan orang susah untuk memaknai agama
(Islam), tetapi tidak dalam kesunyian. Orang lebih banyak meluangkan waktu,
menyempatkan diri, dan sengaja larut dalam kesunyian untuk berfikir jernih,
lebih tenang, membaca al-Qur’an, buku-buku, dan bahkan dapat menenangkan dan mengobati
stress. Mereka bisa memaknai arti dari indahnya berislam, hidup dengan beragama
dan beraturan (berpegang pada al-Qur’an dan hadits) .
Sebuah kisah,
Abu Dzar al-Ghifari (sahabat nabi) yang meilih tinggal di Rabadzah, sebuah
dusun kecil yang juga sepi di luar Madinah. Ia memilih tinggal di sana setelah
beberapa waktu wafatnya Nabi Muhammad saw. Memang tidak mudah berpisah dengan
seorang nabi yang mulia bagi seorang
yang pernah hidup bersama beliau. Namun itulah yang dirasakan oleh Abu Dzar,
yang membuatnya benar-benar sunyi, di tengah gairah kekuasaan Islam yang terus
melebar, ketika tanah demi tanah tunduk dalam hidayah Islam. Sebuah keputusan
dan pilihan yang sangat sulit. Bagaimana bila seandainya kita yang merasakan
hal demikian?
Pilihan
keteguhannya benar-benar menghantarkannya kepada sepi yang tak terperikan, jauh
dari keramaian dan kemewahan. Sebuah
keputusan yang benar-benar sulit.
Suatu hari,
seorang laki-laki datang ke rumah Abu Dzar. Orang itu melayangkan pandangan ke
setiap pojok rumahnya. Dia tidak melihat apa-apa di dalam rumah itu. Kemudian
orang itu bertanya, “Wahai Abu Dzar, di mana barang-barangmu?” Abu Dzar
menjawab, “Kami mempunyai rumah yang lain (di akhirat). Barang-barang kami yang
bagus telah kami kirimkan ke sana.”
Orang itu
rupanya mengerti maksud Abu Dzar, lalu ia berkata, “tetapi bukankah kamu memerlukan juga barang-barang
itu di rumah ini (di dunia).”
“Tetapi yang
punya rumah (Allah) tidak membolehkan kami tinggal di sini (di dunia)
selamanya.” Jawab Abu Dzar.
Begitulah seorang
Abu Dzar yang memilih hidup dengan kesunyian. Ia rela tinggal di rumahnya
dengan tiada barang-barang apapun. Yang diutamakan hanya senantiasa bertemu
dengan Tuhannya. Dan itu adalah pilihan hidupnya.
Sebagian dari
sunyi itu adalah takdir Allah, sebagian lagi aadalah pilihan hidupnya. Meskipun
sebuah pilihan hidup, tetap tak terjadi tanpa takdir dan kehendak Allah swt.
Tetapi kata kunci dari kesunyian Abu Dzar terletak pada derajat keshalihan yang
dipilihnya. Ia telah berusaha memilih yang paling di atasnya, dan itulah pilihan
kesunyian itu. Dukutip dari Majalah Tarbawi Edisi 59 Th. 4/Rabiul Awwal 1424
H/15 Mei 2003 M).
Dari sekelumit
kisah di atas, menggambarkan bahwa kesunyian merupakan sebagai hal atau sesuatu
yang bermakna bagi orang-orang yang shalih. Ia menjadi salah satu jalan untuk
mendekatkan diri dan bemunajat kepada Allah swt. Berguru pada sunyi, agar
menjadi lebih baik, terus membaik, dan terus menjadi yang terbaik di mata Allah
swt dan manusia.
Mari jadikan
keteladanan para nabi yang menggunakan waktu malamnya untuk bertemu dan
berdialog dengan Allah swt di tengah kesunyian, di saat orang-orang tengah
tertidur lelap, sebagai motivasi bagi kita untuk menjadi manusia yang lebih
baik. Tak lupa juga, menjadikan keteladanan para keluarga, sahabat, dan tabi’in
dalam berjuang melawan orang-orang kafir Quraisy dan mendakwahkan ajaran nabi
(Islam) kepada mereka, di tengah tantangan, cacian, dan kekejaman, serta
keberingasan orang-orang kafir tersebut.
Semoga kita
menjadikan sunyi (kesunyian) sebagai moment untuk meresapi keindahan,
memperbanyak ibadah-ibadah sunnah, selalu mencari saudara yang sehati,
mempererat silaturahim, dan berdo’a memohon keteguhan hati untuk tetap
diistiqomahkan dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sebagaimana nabi sering berdo’a memohon keteguhan, “Ya Allah yang Maha
membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati ini untuk tetap berada di jalan-Mu.”
Ini jugalah yang
merupakan do’a orang-orang shalih terdahulu. Sebagaimana tercatat dalam
al-Qur’an, “(Mereka berdo’a), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati
kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan
karuniakanlah kepadda kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkau
Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 8).
Wallahu a’lam...
Aamiin..semuga kita bisa selalu dekat dg Nya
BalasHapusInspiratif pak...
BalasHapusS3moga kita s3lalu dalam ridhoNya.aamiin...
BalasHapusSepi dan sunyiiiii
Aamiin
BalasHapusSepi, semoga berkah.
BalasHapusSemoga mimpinya dapat segera terwujud pak. Tak apa mengulang mimpi, siapa tau ketika diulang dapat menjadi nyata. Sekapur sirihnya saja sudah keren, isinya pasti juga akan keren dan bermanfaat sekali. Semangat pak.
BalasHapusterasa sejuk di hati
BalasHapus