Kamis, 09 Juli 2020

Writing Preneurship; Penulis Idealis Vs Penulis Industrialis

 



"Menulislah, maka engkau akan dikenang"

Suryan Masrin 


'Writing preneurship' 

Menulis buku yang diterima penerbit 


Salahkah seorang menjadi penulis idealis? Tentu tidak. Kemudian apakah salah seorang menjadi penulis yang industrialis? Juga tentu tidak. Nah, bagaimanakah penulis yang disukai oleh penerbit? Ya gabungan dari kedua-duanya.


Bagi orang yang memiliki uang lebih, menerbitkan buku itu hanya sekedar untuk memperkenalkan sesuatu atau branding saja. Bisa jadi, juga hanya sekedar mendokumentasikan sebuah momen atau sesuatu yang dijadikan sebagai kenangan yang nantinya dapat dilihat oleh anak cucu. Kalaupun itu laku dan menhasilkan uang, anggap saja itu sebagai bonus.


Bagi akademisi, publikasi atau menerbitkan sebuah karya itu orientasinya hanya pada profit, nirlaba (CSR/pengabdian), branding/promosi,  memenuhi regulasi/akreditasi dan lain sebagainya. Misalnya, bagi kalangan guru besar atau profesional sekadar mengasah pemikiran dan mempertahankan kepopuleran dan lain sebagainya. Atau juga bagi mereka yang penghobi, yang sekedar berbagi hasil karya yang mereka hasilkan dari sebuah hobi. Nah inilah yang disebut dengan penulis idealis. 



Sebaliknya, penulis yang industrialis adalah penulis yang memiliki barometer dengan nilai yang dihasilkan, salahsatunya royalti. Mereka menulis dengan tujuan untuk menghasilkan uang saja. Terkadang urusan ini tak menjadi hal utama. Yang terpenting diminati (laku) dan menghasilkan "uang".


Lalu bagaimana penulis yang disukai oleh penerbit? 


Penerbit tentu memiliki kriteria dalam mempublikasikan dan menerbitkan sebuah karya, tidak asal terbit saja. Pengabungan dari idealis dan industrialis merupakan hal yang disukai oleh kalangan penerbit. Yang terpenting para penulis tersebut telah memenuhi sistem penilaian yang berlaku di penerbit. 


Sistem penilaian naskah di dunia penerbitan secara umum mengacu kepada standar editorial dengan bobot +10%, peluang potensi pasar dengan bobot +50 %, keilmuan bobot +30 %, dan reputasi penulis bobot +10 %. Jika hal di atas telah terpenuhi, maka 99% naskah akan diterima dan dipublikasikan oleh penerbit. Memang tidak mudah untuk mencapai itu semua. Segala sesuatu itu butuh proses. Jika ingin yang instan, bisa menerbitkan dengan biaya sendiri.


Ciri-ciri penerbit yang baik


  1. Memiliki visi dan misi yang jelas

  2. Memiliki bussiness core lini produk tertentu 

  3. Pengalaman dalam dunia penerbitan

  4. Jaringan pemasaran yang luas

  5. Memiliki percetakan sendiri

  6. Berani mencetak jumlah eksemplar yang banyak

  7. Kejujuran dalam membayar royalti


Penghambat pertumbuhan industri penerbitan


Secara umum dipengaruhi oleh 3 aspek,  pertama; minta baca, yakni kurangnya budaya baca, kurangnya bahan bacaan dan kualitas bacaan. Kedua; minta tulis, yakni minimnya budaya tulis, tidak tahu prosedur menulis dan penerbitan serta anggapan yang salah tentang dunia penulisan dan penerbitan. Ketiga; apresiasi hak cipta, yakni maraknya pembajakan buku dan publikasi hasil karya, duplikasi non legal, dan lemahnya perangkat hukum yang berlaku.


Disarikan dari materi bapak Joko Irawan Mumpuni, Direktur Penerbit Andi Jogja, Ketua I Ikapi DIY, dan Asesor BNSP dalam kegiatan Belajar Menulis bersama Om Jay dan PGRI pada hari Rabu (8/7/2020).


Suryan Masrin 

12 komentar:

  1. Bagi orang yang memiliki uang lebih, menerbitkan buku itu hanya sekedar untuk memperkenalkan sesuatu atau branding saja. Bisa jadi, juga hanya sekedar mendokumentasikan sebuah momen atau sesuatu yang dijadikan sebagai kenangan yang nantinya dapat dilihat oleh anak cucu. Kalaupun itu laku dan menhasilkan uang, anggap saja itu sebagai bonus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Om Jay dan berkunjung dn mampir serta meninggalkan potongan jejak

      Hapus
  2. bagus pak, salam literasi

    BalasHapus
  3. semangat utk menghasilkan karya ...

    BalasHapus
  4. Selamat ya Pak.. semoga buku solonya cepet jadi1

    BalasHapus
  5. Lebih mantap..pak..
    Judulnya juga sudah buat penasaran... Salam kiterasi

    BalasHapus

Guru Bidin (1911-1978) Pegawai Negeri Pertama dari Kampung Peradong

  Guru Bidin atau guru Pidin adalah guru pertama di sekolah rakyat (SR) kampung Peradong. Nama lengkap beliau adalah Idin bin Sja'ban la...